Islam Tidak Misogynist
“Yang memperindah segala sesuatu
yang dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia
menjadikan keturunan dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakannya
dan meniupkan roh (ciptaan) Nya ke dalam (tubuh) nya dan Dia menjadikan
pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”.(Al-Sajdah
ayat 7-9)
“Lelaki dan perempuan diciptakan
dari satu daging yang sama” (perjanjian lama)
Dari Abu Hurairah ra.
berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallalluh ‘alaihi wa salam (SAW), Jagalah kaum wanita (dengan baik),
sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (min dil‘) dan sesungguhnya
yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah yang teratas, maka jikalau
engkau berusaha meluruskannya engkau akan mematahkannya dan jika engkau
biarkannya ia akan kekal bengkok, maka jagalah kaum wanita (dengan baik)”.
Dikhotomisasi
penciptaan wanita telah berlangsung sejak lama bahkan terlalu lama untuk
dikatakan sebagai salah satu bentuk pertentangan pemikiran yang syarat akan
perbedaan penafsiran penciptaan, dikotomisasi penafsiran ini terjadi ketika adanya
perbedaan perspektif kebahasaan dalam memaknai kandungan ayat dan hadits yang
bersumber dari yang satu yaitu Tuhan dan Nabi SWT.
Sebelum
jauh melangkah bahkan menghakimi benar dan salah, baik dan buruk perihal
penciptaan wanita ini ada baiknya apabila kita sadari bahwa agama islam
merupakan salah satu agama rumpun Ibrahim yang tersegmentasi dalam 3 agama,
yaitu islam,Kristen dan yahudi. Dimana agama islam merupakan kulminasi dan
persfeksi yang diceritakan dalam bahasa simbolik, hal ini terjadi dikarenakan
hakikat dari bahasa yang digunakan dalam agama semitis adalah symbol. Untuk
lebih memperjelas prihal bahasa ini mari kita simak di bawah ini.
Menurut
Ali-Shari’ati[1]
bahasa tersegmentasi dalam 2 kategori yaitu :
1. Bahasa
simbolik, bahasa yang menyatakan makna-maknanya lewat symbol-simbol dan imaji,
adalah bahasa yang paling indah dan halus dari seluruh bahasa yang pernah
dikembangkan manusia, bahasa simbolik jauh lebih mendalam, lebih universal dan
lebih abadi dari pada bahasa yang lainnya.
2. Bahasa
eksposisi, merupakan sarana komunikasi dan pengajaran yang lebih baik (dipahami
oleh orang awam), tetapi ia tidak lestari dan abadi sebagaimana bahasa
simbolik, dan bahasa eksposisi pun selalu terbatas pada ruang dan waktu.
Jika kita merujuk pada
pembagian bahasa yang telah diketengahkan oleh Ali-Shari’ati maka dapat kita
lihat bahwa kata “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki”
merupakan bahasa mazazi yang tersegmentasi dalam bahasa simbolik, yang sudah
sepatutnya kita pahami secara benar dalam mengartikulasikan bahasa yang
terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Wallahu a’lam bish-shawab
Konsep Good Governance
Diposting oleh
Irfan Aulia U
0
komentar
Good governance diartikan sebagai terwujudnya tata
pemerintahan atau kepemerintahan atau penyelenggaraan pemerintahan yang baik.
perwujudan dari tata kelola yang baik ini setidaknya bertumpu pada tiga aktor,
yaitu pemerintah, swasta dan mayarakat, sembari dilingkupi oleh moralitas moral
merupakan salah satu komponen yang amat menentukan untuk melahirkan tata
kepemerintahan yang baik. selama ini moral selalu dikesampingkan tidak menjadi
perhatian yang seksama dalam birokrasi pemerintah, hanya digunakan sebagai
pelengkap permainan sumpah jabatan saja.
Kedudukan komponen moral dalam konstelasi hubungan
antara tiga komponen tata kepemerintahan yang baik di atas adalah berada di
tengah-tengah yang bisa menghubungkan ketiga komponen tersebut.[1]
Menurut prof. Dr warsito utomo setidaknya ada 5 unsur
utama atau indikator yang harus dipenuhi guna terciptanya good governance, yaitu :
a.
Rule of law,
yang berarti terjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat
maupun pihak swasta terhadap setiap kebijakan publik yang dibuat dan
dilaksanakan. dengan demikian baik pemerintah, masyarakat maupun swasta menjadi
terlindungi oleh adanya kepastian hukum atau perundang-undangan, sehingga ke-3
komponen tersebut tanpa ragu-ragu melaksanakan fungsi dan aktivitasnya
masing-masing.
b.
Akuntabilitas,
yang bermakna mampu bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkan segala
aktivitas yang dilakukannya. terutama dalam pemerintahan yang demokratis atau governance ini, bertanggung jawab dan
mempertanggung jawabkan kepada masyarakat.
c.
Transparant atau Opennes, yang berarti tidak saja mengarah adanya kejelasan
mekanisme formulasi, implementasi dan evaluasi terhadap kebijakan, program atau
aktivitas tetapi juga terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk mengajukan
tanggapan, usul maupun kritik.
d.
Profesionalisme,
yang mengarah baik skill, kemampuan
maupun kompetensi yang harus dimiliki oleh semua komponen atas tanggung jawab
dan tugas yang dibebankan kepadanya.
e.
Partisipasi,
yang memiliki makna terbukanya akses bagi seluruh komponen atau lapisan untuk
ikut serta atau terlibat dalam pembuatan keputusan atau kebijakan[2].
Wancana Reformasi Birokrasi
Diposting oleh
Irfan Aulia U
0
komentar
Kemenangan
rakyat atas rezim otoriter pada tahun 1998 menyingkapkan tabir yang selama ini
tertutup rapat akan harapan untuk meningkatkan taraf hidup dan kebebasan di dalam
setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, pembungkaman yang dilakukan
oleh rezim Soeharto terhadap aktifis mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) ditambah dengan minimnya tingkat kwalitas kesejahteraan turut membantu
agenda reformasi ini.
Salah
satu tuntutan mendasar yang diinginkan oleh masyarakat pasca tumbangnya rezim Soehato
yaitu Netralitas dan Agenda Reformasi Birokrasi
yang selama ini (zaman Soeharto) dirasakan selalu memihak terhadap golongan tertentu.
pada zaman Soeharto birokrasi selalu dijadikan sebagai “alat politik”pemerintah
guna memenangkan partai pemerintah (Golkar) dalam setiap pemilihan umum yang
dilakukan dalam tengat waktu 5 tahunan, mirip rezim kolonial Belanda dalam
memanipulasi aparat birokrasi tradisional yang diintegrasikan ke dalam struktur
kolonial.
Secara
terminologis aparatur birokrasi dapat diidentifikasi sebagai pegawai negri
sipil (PNS). Mereka adalah para PNS,
aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota kepolisian Republik
Indonesia (POLRI). Demikan pula dengan kelembagaan pegawai negri sebagai mesin
politik negara korporatik-otoritarian oleh rezim orde baru. Tindakan
pelembagaan itu dimulai lewat pembentukan Korps karyawan (Kopkar) pemerintahan
dalam negri di awal orde baru, dan kemudian di sempurnakan dengan pembentukan
KORPRI (korps pegawai republik indonesia) lewat keppres No. 82 tahun 1971.
Agenda
reformasi birokrasi yang digadang-gadangkan pasca runtuhnya rezim soeharto
mendapatkan banyak masalah, salah satunya adalah faktor politik, birokrasi
selalu tergoda akan rayuan gombal para politisi penghamba dunia materi. Dengan
mudahnya para birokrasi di peralat oleh politisi korup guna turut membantu
dalam konfrontasi politik baik itu pada tingkatan daerah maupun pusat. Hal ini
terbukti dengan besarnya jumlah incumbent
(yang masih menjabat) terpilih kembali sebagai kepala daerah atau setidaknya
terdapat 172 calon kepala daerah yang terpilih kembali pada saat pemilu.[1]
Pada
tataran ini, netralitas birokrasi merupakan suatu keharusan yang tidak bisa
ditawar lagi, mengingat birokrasi merupakan jembatan penghubung antara
masyarakat dengan pemerintah, di samping itu pula birokrasi ibarat dua sisi
mata uang selain sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat birokrasi pun
dijadikan sebagai salah satu indikator yang penting guna mengetahui tingkat
kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Pentingnya netralitas birokrasi ini dituangkan
di dalam UU No. 43 tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian[2],
UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia[3],
PP No. 5/1999 tentang Pegawai Negri Sipil Yang Menjadi Anggota Partai Politik[4],
Keputusan Munas V KORPRI tahun 1999[5]
dan Surat Edaran (SE) Menpan No. SE/08.A/M.PAN/3/2005, tentang Netralitas PNS Dalam
Pemilihan Kepala Daerah[6].
Netralitas
politik yang sejatinya merupakan salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh
pemerintah guna menciptakan iklim birokrasi modern terus digalakan di samping
masih terdapat kendala di sana-sini, perubahan ini harus terus di lakukan
sembari membenahi ganjalan-ganjalan yang membuat birokrasi kita terlihat seperti “alat penguasa”. perubahan
paradigma birokrasi tradisional (Patrionial
Bureaucracy) kepada birokrasi modern (Modern
Bereaucracy) yang dilakukan pasca runtuhnya rezim Soeharto belum sepenuhnya
terjadi, atau meminjam istilah Achmad
Fedyani Saefudin sebagai “percampuran gamang” dimana terjadi percampuran antara
budaya birokrasi tradisional yang masih melekat dengan budaya birokrasi modern.
Untuk lebih memperjelas akan “percampuran gamang” ini mari kita lihat dua
paradigma tersebut.
Paradigma
pertama, adalah Birokrasi Modern (Modern
Bereaucracy), yang mengartikan birokrasi sebagai institusi, kewenangan,
sistem pengaturan, sistem prosedur, mekanisme yang berfungsi melaksanakan
keputusan atau kebijakan politik dalam mencapai tujuan peningkatan pelayanan
publik. ciri tersebut seperti yang dikemukakan Max Weber sebagai tipologi
birokrasi modern yang mengedepankan prinsip legalitas-formal, rasional objektif
dan profesional.
Paradigma
kedua, adalah Birokrasi Tradisional (Patrionial
Bureaucracy) menunjukan bahwa birokrasi diwarnai oleh unsur tradisional,
seperti nilai korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan berorientasi melayani
kekuasaan bukan pada kepentingan publik[7].
Berkaca
pada kemajuan Negara di Dunia seperti Jepang, Hongkong, Malaysia, sangat
ditentukan oleh kondisi aparatur birokrasinya dalam menunjukan
profesionalitasnya sebagai pelayan masyarakat. Di Indonesia kultur birokrasi yang modern belum dianggap
sebagai kebiasaan umum yang patut untuk dilakukan, alih-alih ingin membuat
birokrasi menjadi modern malah yang timbul adalah fenomena birokratisasi yang
sarat akan nuansa negatif dalam proses lambanya pelayanan yang diiringi pula
oleh lingkaran korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Dalam
melihat persoalan yang terjadi ini, kita sudah sepatutnya mendukung terhadap
segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal menata birokrasinya.
reformasi birokrasi adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi,
guna terciptanya good governance dan clean governance yang merupakan salah
satu bentuk konsensus yang telah disepakati dalam model dan kultur modern abad
21 ini.
[1]
Lihat Drs. Taufiq Efendi dalam Majalah Figur,Reformasi Birokrasi, PT Panca Wira Karsa, 2007 hal.26
[2]
Lihat UU no 43 tahun 1999 pada pasal 3 ayat 2 dan 3
[3]
Lihat UU no 34 tahun 2004 pada pasal 39
[4] PP
No. 5/1999 pasal 3
[5]
Lihat Munas V KORPRI tahun 1999
[6]
Lihat SE Menpan No.SE/08.A/M.PAN/3/2005
[7]
Opcit’ Reformasi Birokrasi hal.3
Demokrasi Di Indonesia
Diposting oleh
Irfan Aulia U
0
komentar
Demokrasi merupakan
salah satu kajian yang masih “seksi”
untuk di bicarakan, kata-kata demokrasi sering kita dengar baik itu di dalam
dunia kampus, dunia pergerakan bahkan sampai warung kopi maupun angkringan
kata-kata demokrasi selalu tidak pernah absen diperbincangkan.
Jika kita merujuk pada
sejarah, tentunya demokrasi bukanlah kata yang baru setidaknya 5 abad sebelum
masehi pun demokrasi sudah mulai dikenal oleh para pemikir-pemikir yunani kuno,
walaupun harus kita sadari bahwa demokrasi kita hari ini merupakan perbaikan
dari produk demokrasi terdahulu.
Sebelum penulis
berbicara terlalu jauh prihal demokrasi ini, sekiranya harus kita sadari bahwa
ada persyaratan khusus dalam memperbincangkan demokrasi, persyaratan khusus ini
adalah dengan melepaskan diri dari bias dan etnosentrisme. Syarat ini merupakan
salah satu hal yang dapat membantu kita dalam memahami konsep demokrasi secara
objektif dan komperehensif. Pandangan etnosentrisme membuat kita melihat apa yang
dimiliki oleh kita serba baik dan benar, sedangkan segala sesuatu yang berada
diluar kita merupakan hal yang sebaliknya. Kenyataan seperti ini sering kita
dengar seperti “itu kan dari barat” atau “demokrasi kan produk kapitalis” dan
lain sebagainya atau dalam terminology ali-shariati disebut dengan istilah “societe
ferme” (suatu masyarakat tertutup) kebalikan dari “societe ouverte” (suatu
masyarakat terbuka).
Secara bahasa demokrasi
berasal dari dua kata yaitu “Demos”
dan “Kratien/kratos” yang berarti pemerintahan
rakyat atau kedaulatan rakyat. Ada dua perspektif dalam memahami demokrasi ini[1],
yaitu :
1.
Demokrasi
Normatif, yaitu pemahaman yang merujuk pada idil suatu Negara seperti ungkapan
“Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” ungkapan ini
terejawantah didalam UUD 1945.
“kedaulatan
adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan
rakyat” (pasal 1 ayat 2)
“Kemerdekaan
berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan
sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang” (pasal 28).
“Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing
dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. (pasal 29 ayat 2)[2]
2.
Demokrasi Empiris yaitu, pemahaman yang
merujuk pada konteks sejarah didalam suatu Negara, seperti demokrasi
pemerintahan masa revolusi, demokrasi parlementer dan lain sebagainya.
Dan didalam demokrasi terdapat empat tingkat
pendekatan untuk membedakan status demokrasi dalam suatu Negara, yaitu
Demokrasi Procedural, Demokrasi Agregatif, Demokrasi Deliberative dan Demokrasi
Partisipatoris[3].
1. Demokrasi
Prosedural, yaitu persaingan partai
politik dan atau para calon pemimpin politik meyakinkan rakyat agar memilih
mereka menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan (legislative atau
eksekutif) di pusat atau di daerah. Rumusan ini dikemukakan oleh Joseph
Schumpeter dan diikuti dan dikembangkan oleh Samuel P. Hutington. Menurut
definisi ini terdapat dua unsure penting dalam demokrasi :
konstelasi/persaingan secara adil antar partai dan atau calon pemimpin, dan
partisipasi warga Negara dalam menilai dan member keputusan atas persaingan
tersebut
2. Demokrasi
Agregatif, berpandangan bahwa demokrasi tidak hanya keikutsertaan dalam pemilu
yang LUBER dan JURDIL dan akuntabel tetapi terutama cita-cita, pendapat
prefernsi, dan penilaian warga Negara menentukan isi UU, kebijakan dan tindakan
lainnya. Pandangan ini berangkat dari asumsi yang mengatakan orang yang tahu
dirinya adalah orang itu sendiri.
3. Demokrasi
deliberative, yaitu merupakan antithesis
dari Demokrasi Agregatif, demokrasi tidak hanya diukur dari apakah kebijkan
public dirumuskan berdasarkan preferensi dan pandangan warga Negara secara umum
tetapi terutama apakah UU dan kebijakan tersebut sesuai dengan kehendak setiap
warga Negara. Pengambilan keputusan pada berbagai institusi, seperti partai
politik, civil society, lembaga
perwakilan rakyat, pengadilan, departemen dan dinas pemerintahan, rembug desa,
dan ruang public yang lainnya dilakukan melalui diskusi/musyawarah yang tidak
hanya bersifat terbuka tetapi juga rasional (reasoned rule), hal ini
dikemukakan oleh Amy Gutmann dan Dennis Thompson.
4. Demokrasi
Partisipatoris, menyetujui pentingnya nilai-nilai demokrasi seperti self-government, persamaan atau
kesetaraan politik, dan reasoned rule tetapi
menekankan pada partisipasi seluruh warga Negara (yang sudahberhak memilih)
secara langsung dalam pengambilan keputusan. Walaupun keterlibatan secara
langsung dalam pembuatan keputusan tidak pada semua tingkatan atau pada semua
isu public, tetapi frekuensinya sering, terutama dalam pembuatan kebijakan yang
penting, dan ketika kekuasaan secara signifikan digunakan. Pandangan ini
dikemukakan antara lain oleh Benyamin Barber.
Manifestasi nyata dari
demokrasi ini salah satunya dengan cara pemilihan umum yang meliputi tiga
ketegori pemilihan, yaitu
·
Pertama,
Pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kab/Kota. DPR dan DPRD adalah dari
partai politik sedangkan DPD dari perseorangan.
·
Kedua,
Presiden dan Wakil Presiden. Dari partai politik atau gabungan partai politik.
·
Ketiga,
Kepala daerah dipilih secara demokratik yang diatur lebih lanjut didalam UU.
Langganan:
Postingan (Atom)