Indonesia merupakan negara yang
memiliki tingkat kemajemukan yang sangat tinggi, sehingga mengharuskan bangsa
ini harus bisa saling menghargai perbedaan yang ada di dalam masyarakat.
Semangat saling bisa menghargai ini merupakan hal yang sangat penting dalam
menjaga dan membina semangat bernegara yang di dasarkan pada semangat
persaudaraan yang kuat. Baik itu di dalam bermasyarakat, maupun di dalam
bernegara, termasuk dalam koridor menghargai perbedaan system pemerintahan di
beberapa daerah sebagai salah satu hal yang terpenting dalam menjunjung
nilai-nilai kearifan local yang terkandung di daerah tersebut.
Kekisruhan
yang terjadi belakangan ini mengenai ketetapan atau pemilihan yang terjadi di
Yogyakarta seolah-olah adanya pemaknaan yang saling dikotomi antara pemilihan
dan ketetapan, polarisasi ini timbul seiring dengan adanya statement yang
dikatakan oleh Presiden yudhoyono mengenai tidak adanya monarki dalam system
demokrasi, statement yang dikeluarkan oleh presiden ini sungguh sangat
menghentakan rakyat Jogjakarta sekaligus membuat miris dikarenakan statmen yang
di keluarkan oleh presiden itu seiring dengan adanya bencana merapi yang
mengakibatkan ratusan rakyat Jogjakarta kehilangan rumah dan sanak family dan juga
statmen yang di keluarkan oleh presiden ini dirasakan telah mencederai tradisi
yang lumrah terjadi di jogyakarta mengenai posisi kesultanan sebagai raja dan
sebagai kepala pemerintahan yang telah digariskan secara turun-menurun dan
sudah sedari dulu disahkan oleh para founding father kita.
Kekisruhan
yang terjadi sekarang ini bukanlah yang pertama, melainkan sudah yang ke- empat
kali terhitung dari tahun 1998,2003,2008 dan sekarang pada tahun 2010, yang
kembali mencuat kepermukaan untuk mempertanyakan dan menegaskan posisi
kesultanan yang terjadi di jogyakarta. Adanya pernyataan mengenai ketetapan
atau pemilihan ini menuai pro dan kontra di tengah masyarakat luas khususnya
masyarakat Jogyakarta, mengingat disatu sisi ada yang menginginkan sultan dan
pakualaman sebagai pengayom budaya sekaligus sebagai gubernur dan wakil
gubernur dan ada pula yang menginginkan adanya pemilihan dalam proses pemilihan
gubernur sebagai kepala pemerintahan, akan tetapi tetap posisi kesultanan dan
pakualaman sebagai pengayom budaya masyarakat jawa secara keseluruhan.
Permasalahan
yang terjadi di Jogjakarta prihal penetapan dan pemilihan bukanlah permasalahan
tunggal, karena berbicara mengenai keistimewaan berbicara pula mengenai sultan
ground dan penambangan pasir besi yang berada di kulon progo. Penambangan pasir
besi di kulon progo yang akan membelah kawasan kulon progo sebesar 3000 hektar
atau tepatnya sebesar 2987[1]
hektar ini akan menyebabkan kerusakan lingkungan yang sangat luar biasa, belum
lagi masalah kesejahteraan social masyrakat kulon progo di sekitar daerah
penambangan dan sudah barang tentu kita pun harus banyak belajar dari
kasus-kasus penambangan yang penuh dengan “data fiktif” dan kerusakan yang
ditimbulkannya.
Berkaca
pada hal ini lah masyarakat kulon progo melakukan tindakan penolakan terhadap
penambangan pasir besi di kulon progo selain dari pada kerusakan lingkungan
penambangan ini pun memiliki muatan politis yang sangat jelas terutama prihal
keberpihakan kesultanan terhadap pihak swasta, bahkan banyak kabar yang beredar
bahwa perusahaan yang manangani penambangan ini berasal dari kerabat kraton.
Kabar ini
memang beralasan, jika kita mengacu pada keterkaitan antara PT JMI dengan
kesultanan maka kita dapat menemukan benang merah yang mampu untuk menjelaskan
kedudukan pihak keraton dengan perusahaan yang menangani penambangan pasir besi
di kulon progo, menurut data yang penulis dapatkan bahwa perusahaan PT Jogja
Magasa Iron (PT JMI) yang merupakan anak perusahaan dari PT Jogja Magasa Mining
adalah perusahaan penguasa politik di Provinsi Yogyakarta, yaitu kesultanan dan
pakualaman[2].
Walaupun, kesultanan dan pakualaman memiliki
andil yang besar dalam meng-goal kan penambangan
ini, pihak kraton dan pakualaman pun tetap didikte oleh pihak asing yang
memiliki sebagian besar saham yang berada di perusahaan tersebut, atau
setidaknya 70% dari saham keseluruhan, rincian Komposisi kepemilikan
saham PT Jogja Magasa Iron adalah PT Jogja Magasa Mining (Indonesia) sebesar
30% dan Indo Mines Limited (Australia) sebesar 70%[3].
Dominasi saham inilah
yang menyebabkan kita selalu berpikiran buruk, terutama jika mangacu pada
permasalahan pertambangan yang melibatkan asing, pemerintah kita seolah-olah
tidak berdaya bahkan mungkin bisa dikatakan “mewakafkan diri” terhadap
kepentingan-kepentingan asing, pemerintah kita seolah tidak berdaya melawan
pihak asing hal itu dengan jelas dapat kita liahat dalam kasus pertambangan
yang berada di papua (Freeport), pemerintah selalu “dikadalin” dengan dalih
rahasia perusahaan.
Selanjutnya, kita pun tidak pernah mengetahui
berapa pendapatan bersih dari PT Freeport yang sudah barang tentu berdampak
pada pemberian pajak yang harus dibayarkan oleh pihak Freeport kepada
pemerintah Indonesia. Berangkat dari pengalaman inilah, kita harus berupaya
sedini mungkin untuk memproteksi agar kasus Freeport tidak kembali terjadi di
tanah air kita, penambangan pasir besi di kulon progo bukan tidak mungkin
menjadi Freeport ke-dua setelah di Papua
0 komentar:
Posting Komentar