Wancana Reformasi Birokrasi


Kemenangan rakyat atas rezim otoriter pada tahun 1998 menyingkapkan tabir yang selama ini tertutup rapat akan harapan untuk meningkatkan taraf hidup dan kebebasan di dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, pembungkaman yang dilakukan oleh rezim Soeharto terhadap aktifis mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ditambah dengan minimnya tingkat kwalitas kesejahteraan turut membantu agenda reformasi ini.
Salah satu tuntutan mendasar yang diinginkan oleh masyarakat pasca tumbangnya rezim Soehato  yaitu Netralitas dan Agenda Reformasi Birokrasi yang selama ini (zaman Soeharto) dirasakan selalu memihak terhadap golongan tertentu. pada zaman Soeharto birokrasi selalu dijadikan sebagai “alat politik”pemerintah guna memenangkan partai pemerintah (Golkar) dalam setiap pemilihan umum yang dilakukan dalam tengat waktu 5 tahunan, mirip rezim kolonial Belanda dalam memanipulasi aparat birokrasi tradisional yang diintegrasikan ke dalam struktur kolonial.
Secara terminologis aparatur birokrasi dapat diidentifikasi sebagai pegawai negri sipil (PNS).  Mereka adalah para PNS, aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Demikan pula dengan kelembagaan pegawai negri sebagai mesin politik negara korporatik-otoritarian oleh rezim orde baru. Tindakan pelembagaan itu dimulai lewat pembentukan Korps karyawan (Kopkar) pemerintahan dalam negri di awal orde baru, dan kemudian di sempurnakan dengan pembentukan KORPRI (korps pegawai republik indonesia) lewat keppres No. 82 tahun 1971.
Agenda reformasi birokrasi yang digadang-gadangkan pasca runtuhnya rezim soeharto mendapatkan banyak masalah, salah satunya adalah faktor politik, birokrasi selalu tergoda akan rayuan gombal para politisi penghamba dunia materi. Dengan mudahnya para birokrasi di peralat oleh politisi korup guna turut membantu dalam konfrontasi politik baik itu pada tingkatan daerah maupun pusat. Hal ini terbukti dengan besarnya jumlah incumbent (yang masih menjabat) terpilih kembali sebagai kepala daerah atau setidaknya terdapat 172 calon kepala daerah yang terpilih kembali pada saat pemilu.[1] 
Pada tataran ini, netralitas birokrasi merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi, mengingat birokrasi merupakan jembatan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah, di samping itu pula birokrasi ibarat dua sisi mata uang selain sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat birokrasi pun dijadikan sebagai salah satu indikator yang penting guna mengetahui tingkat kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Pentingnya netralitas birokrasi ini dituangkan di dalam UU No. 43 tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian[2], UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia[3], PP No. 5/1999 tentang Pegawai Negri Sipil Yang Menjadi Anggota Partai Politik[4], Keputusan Munas V KORPRI tahun 1999[5] dan Surat Edaran (SE) Menpan No. SE/08.A/M.PAN/3/2005, tentang Netralitas PNS Dalam Pemilihan Kepala Daerah[6].
Netralitas politik yang sejatinya merupakan salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh pemerintah guna menciptakan iklim birokrasi modern terus digalakan di samping masih terdapat kendala di sana-sini, perubahan ini harus terus di lakukan sembari membenahi ganjalan-ganjalan yang membuat birokrasi  kita terlihat seperti “alat penguasa”. perubahan paradigma birokrasi tradisional (Patrionial Bureaucracy) kepada birokrasi modern (Modern Bereaucracy) yang dilakukan pasca runtuhnya rezim Soeharto belum sepenuhnya terjadi, atau meminjam istilah  Achmad Fedyani Saefudin sebagai “percampuran gamang” dimana terjadi percampuran antara budaya birokrasi tradisional yang masih melekat dengan budaya birokrasi modern. Untuk lebih memperjelas akan “percampuran gamang” ini mari kita lihat dua paradigma tersebut.
Paradigma pertama, adalah Birokrasi Modern (Modern Bereaucracy), yang mengartikan birokrasi sebagai institusi, kewenangan, sistem pengaturan, sistem prosedur, mekanisme yang berfungsi melaksanakan keputusan atau kebijakan politik dalam mencapai tujuan peningkatan pelayanan publik. ciri tersebut seperti yang dikemukakan Max Weber sebagai tipologi birokrasi modern yang mengedepankan prinsip legalitas-formal, rasional objektif dan profesional.
Paradigma kedua, adalah Birokrasi Tradisional (Patrionial Bureaucracy) menunjukan bahwa birokrasi diwarnai oleh unsur tradisional, seperti nilai korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan berorientasi melayani kekuasaan bukan pada kepentingan publik[7].
Berkaca pada kemajuan Negara di Dunia seperti Jepang, Hongkong, Malaysia, sangat ditentukan oleh kondisi aparatur birokrasinya dalam menunjukan profesionalitasnya sebagai pelayan masyarakat. Di Indonesia  kultur birokrasi yang modern belum dianggap sebagai kebiasaan umum yang patut untuk dilakukan, alih-alih ingin membuat birokrasi menjadi modern malah yang timbul adalah fenomena birokratisasi yang sarat akan nuansa negatif dalam proses lambanya pelayanan yang diiringi pula oleh lingkaran korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Dalam melihat persoalan yang terjadi ini, kita sudah sepatutnya mendukung terhadap segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal menata birokrasinya. reformasi birokrasi adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, guna terciptanya good governance dan clean governance yang merupakan salah satu bentuk konsensus yang telah disepakati dalam model dan kultur modern abad 21 ini.


[1] Lihat Drs. Taufiq Efendi dalam Majalah Figur,Reformasi Birokrasi, PT Panca Wira Karsa, 2007 hal.26
[2] Lihat UU no 43 tahun 1999 pada pasal 3 ayat 2 dan 3
[3] Lihat UU no 34 tahun 2004 pada pasal 39
[4] PP No. 5/1999 pasal 3
[5] Lihat Munas V KORPRI tahun 1999
[6] Lihat SE Menpan No.SE/08.A/M.PAN/3/2005
[7] Opcit’ Reformasi Birokrasi hal.3

0 komentar:

Posting Komentar