Rakyat Menangis di Bawah Pohon Beringin


Gonjang ganjing kenaikan harga BBM yang akan dilakukan pemerintah sudah terdengar suaranya jauh sebelum terjadi aksi demonstrasi yang dilakukan oleh sejumlah aktivis mahasiswa yang menamakan dirinya sebagai “pembela rakyat”, dengan berbagai warna gerakan kemahasiswaan, Mahasiswa pun turun kejalan dan tak ayal polisi pun menghadang dengan perlengkapan seolah-olah sedang berperang, itulah setidaknya yang dapat kita lihat seminggu sebelum keputusan rapat paripurna DPR dalam menindak lanjuti pemberitaan media tentang rencana kenaikan harga BBM yang ditandaskan oleh analis-analis ekonom politik Indonesia.
Berita kenaikan BBM yang tulis diberbagai media cetak mendasari pada analisis yang dilakukan terhadap realitas yang terjadi di luar negri prihal pembalokadean selat hormuz oleh Negara-negara barat. Balokade yang dilakukan oleh Negara barat membuat harga minyak melambung tinggi bahkan bisa mencapai 150 dollar AS per-barel, hal ini pun tentunya menjauhi harga minyak yang pada saat itu berpatokan pada kisaran 105 dollar AS per-barel. Balokade Negara barat terhadap selat hormuz merupakan salah satu hal yang dapat memicu peningkatan harga minyak dunia di samping hal-hal lain yang turut menyumbang terhadap besaran angka peningkatan harga pasar minyak dunia.
Kegelisahan masyarakat pun mencapai titik klimaks, frustasi social terjadi, aksi bakar membakar pun sering kita lihat dilayar kaca televisi, para politisi senayan dengan santainya mengatakan harga BBM diluar negri jauh lebih mahal dibandingkan dengan di Negara ini, sembari memberikan contoh-contoh harga BBM yang berada di luar negri seperti Malaysia, singapure dan lain sebagainya, dan sudah seperti biasa mereka pun lupa dengan tingkat perbedaan kesejahteraan antara kita (Negara Indonesia) dengan Negara yang disebutkan tadi.
 Rapat paripurna pun digelar guna memutuskan kenaikan harga BBM tepat satu hari sebelum tanggal 1 april yang diagendakan sebelumnya sebagai malam perpisahan masyarakat dalam menikmati BBM yang masih pada kisaran harga Rp 4500,-. Dan hasilnya sangatlah mengejutkan, pemerintah melakukan upaya penundaan kenaikan harga BBM lewat keputusan yang terejawantah dalam UU APBN-P 2012 terutama terkait dengan pemberian subsidi dalam pasal 7 ayat 6 yang sebelumnya menggariskan “harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan” yang berubah, dengan penambahan point yang pada intinya kenaikan harga BBM akan terjadi jika fluktuasi rata-rata 15% dalam kisaran waktu 6 bulan[1]. Hasil dari rapat paripurna DPR tersebut ternyata mampu untuk, setidaknya meredam gejolak masa yang selama ini terjadi di setiap daerah dan debu ketegangan pun seolah sudah mengendap. Pertanyaan selanjutnya apakah penolakan yang dilakukan oleh masyarakat sudah terkabul dengan “penundaan” kenaikan harga BBM?
Penundaan kenaikan harga BBM bukanlah output yang kita semua harapkan, akan tetapi kita pun harus ingat bahwa cepat atau lambat kenaikan harga BBM merupakan suatu hal yang harus kita hadapi, terutama jika kita merujuk pada data yang diketengahkan oleh Statistic of World Energy Report 2011, Indonesia masih memiliki cadangan gas 3,1 triliun meter kubik, yang bisa bertahan hingga 40-an tahun dengan rata-rata produksi 82 miliar meter kubik pertahun. Adapun total cadangan minyak bumi nyaris kerontang, tinggal 4,2 miliar barel. Jumlah yang ditaksir habis dalam delapan tahun[2].
 Di samping data tersebut di atas, ada banyak kabar yang beredar bahwa terjadi kompensasi (kongkalikong) politik antara partai SBY dengan partai Beringin yang berkaitan dengan kepentingan Bakrie dalam penanganan masalah lumpur lapindo, yang sampai sekarang masih terkatung-katung dalam hal masalah ganti rugi yang tidak jelas akhirnya.
Kompensasi dukungan yang dilakukan oleh partai Bakri “agaknya” dibarter dengan munculnya pasal 18 dalam perundangan ihwal ketentuan perubahan itu. Dalam versi revisi, ada alokasi dana lebih besar untuk badan penanggulangan lumpur sidoarjo (BPLS), yang bertugas menangani dan menanggulangi dampak semburan lumpur akibat salah bor PT Lapindo Brantas Incorporated. Semula, dalam pasal 18 APBN, dinyatakan BPLS memberikan bantuan kontrak rumah, tunjangan biaya hidup, biaya evakuasi, serta pelunasan kekurangan pembayaran pembelian tanah dan bangunan desa besuki, kedungcangkring dan pejarakan. Dalam pasal perubahan, BPLS melunasi pembayaran pembelian tanah dan bangunan di tiga desa di luar “peta terdampak” pada tahun ini alokasi anggaran Negara yang dinaikan dari 1,3 triliun menjadi 1,6 triliun[3].
Selanjutnya, kompensasi dukungan yang bernuansa konspiratif ini memang susah untuk dibuktikan, akan tetapi mungkin sekiranya kita dapat mengkomparasikan antara masalah yang satu dengan yang lainnya, misalkan mengapa meletusnya gunung merapi yang terjadi 2 tahun yang lalu tidak membuat pemerintah dan DPR bergerak dan merancang spirit yang sama seperti dalam pasal 18 itu?atau mengapa bukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang ditugasi untuk mengurusnya? Mengapa Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang dibentuk dan ditugasi tampaknya diperuntukkan khusus untuk mengurus persoalan ini? Kalaupun BNPB tidak ditugasi mengurus persoalan itu, mengapa tidak ditugaskan saja kepada Kementerian Sosial atau Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat?
Pertanyaan-pertanyaan diatas setidaknya dapat memberikan gambaran akan keberpihakan pemerintah khususnya SBY dalam hal keberpihakannya terhadap Abu Rijal Bakri dalam masalah lumpur lapindo, yang lebih mengherankan lagi pemerintah mengatakan sedang dalam keadaan deficit anggaran akibat subsidi BBM, akan tetapi pada kenyataannya para wakil rakyat malah melanglang buana ke afrika selatan, republic ceko, jerman dan polandia dari tanggal 14 sampai 20 april dengan dalih kunjungan penting. Dus, selamat datang di Indonesia.


[2] Lihat majalah tempo, Boros solar di Teluk Jakarta edisi 9-15 april 2012 hal 29
[3] ‘ibid, majalah tempo,hal 31

0 komentar:

Posting Komentar