This is featured post 1 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 2 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 3 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 4 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

This is featured post 5 title

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipisicing elit, sed do eiusmod tempor incididunt ut labore et dolore magna aliqua. Ut enim ad minim veniam, quis nostrud exercitation test link ullamco laboris nisi ut aliquip ex ea commodo consequat.

Islam Tidak Misogynist

0 komentar


“Yang memperindah segala sesuatu yang dia ciptakan dan yang memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia menjadikan keturunan dari saripati air yang hina (air mani). Kemudian Dia menyempurnakannya dan meniupkan roh (ciptaan) Nya ke dalam (tubuh) nya dan Dia menjadikan pendengaran, penglihatan dan hati bagimu, (tetapi sedikit sekali kamu bersyukur”.(Al-Sajdah ayat 7-9)
“Lelaki dan perempuan diciptakan dari satu daging yang sama” (perjanjian lama)
Dari Abu Hurairah ra. berkata: “Telah bersabda Rasulullah Shallalluh ‘alaihi wa salam (SAW), Jagalah kaum wanita (dengan baik), sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk (min dil‘) dan sesungguhnya yang paling bengkok dari tulang rusuk itu adalah yang teratas, maka jikalau engkau berusaha meluruskannya engkau akan mematahkannya dan jika engkau biarkannya ia akan kekal bengkok, maka jagalah kaum wanita (dengan baik)”.
Dikhotomisasi penciptaan wanita telah berlangsung sejak lama bahkan terlalu lama untuk dikatakan sebagai salah satu bentuk pertentangan pemikiran yang syarat akan perbedaan penafsiran penciptaan, dikotomisasi penafsiran ini terjadi ketika adanya perbedaan perspektif kebahasaan dalam memaknai kandungan ayat dan hadits yang bersumber dari yang satu yaitu Tuhan dan Nabi SWT.
Sebelum jauh melangkah bahkan menghakimi benar dan salah, baik dan buruk perihal penciptaan wanita ini ada baiknya apabila kita sadari bahwa agama islam merupakan salah satu agama rumpun Ibrahim yang tersegmentasi dalam 3 agama, yaitu islam,Kristen dan yahudi. Dimana agama islam merupakan kulminasi dan persfeksi yang diceritakan dalam bahasa simbolik, hal ini terjadi dikarenakan hakikat dari bahasa yang digunakan dalam agama semitis adalah symbol. Untuk lebih memperjelas prihal bahasa ini mari kita simak di bawah ini.     
Menurut Ali-Shari’ati[1] bahasa tersegmentasi dalam 2 kategori yaitu :
1.      Bahasa simbolik, bahasa yang menyatakan makna-maknanya lewat symbol-simbol dan imaji, adalah bahasa yang paling indah dan halus dari seluruh bahasa yang pernah dikembangkan manusia, bahasa simbolik jauh lebih mendalam, lebih universal dan lebih abadi dari pada bahasa yang lainnya.
2.      Bahasa eksposisi, merupakan sarana komunikasi dan pengajaran yang lebih baik (dipahami oleh orang awam), tetapi ia tidak lestari dan abadi sebagaimana bahasa simbolik, dan bahasa eksposisi pun selalu terbatas pada ruang dan waktu.
Jika kita merujuk pada pembagian bahasa yang telah diketengahkan oleh Ali-Shari’ati maka dapat kita lihat bahwa kata “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk laki-laki” merupakan bahasa mazazi yang tersegmentasi dalam bahasa simbolik, yang sudah sepatutnya kita pahami secara benar dalam mengartikulasikan bahasa yang terkandung dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Wallahu a’lam bish-shawab


[1] Lihat Dr. Ali Shariati” Tugas Cendikiawan Muslim” PT Rajagrafindo Persada, 1994, hal 3

Konsep Good Governance

0 komentar


Good governance diartikan sebagai terwujudnya tata pemerintahan atau kepemerintahan atau penyelenggaraan pemerintahan yang baik. perwujudan dari tata kelola yang baik ini setidaknya bertumpu pada tiga aktor, yaitu pemerintah, swasta dan mayarakat, sembari dilingkupi oleh moralitas moral merupakan salah satu komponen yang amat menentukan untuk melahirkan tata kepemerintahan yang baik. selama ini moral selalu dikesampingkan tidak menjadi perhatian yang seksama dalam birokrasi pemerintah, hanya digunakan sebagai pelengkap permainan sumpah jabatan saja.
Kedudukan komponen moral dalam konstelasi hubungan antara tiga komponen tata kepemerintahan yang baik di atas adalah berada di tengah-tengah yang bisa menghubungkan ketiga komponen tersebut.[1]

Menurut prof. Dr warsito utomo setidaknya ada 5 unsur utama atau indikator yang harus dipenuhi guna terciptanya good governance, yaitu :
a.       Rule of law, yang berarti terjamin adanya kepastian hukum dan rasa keadilan bagi masyarakat maupun pihak swasta terhadap setiap kebijakan publik yang dibuat dan dilaksanakan. dengan demikian baik pemerintah, masyarakat maupun swasta menjadi terlindungi oleh adanya kepastian hukum atau perundang-undangan, sehingga ke-3 komponen tersebut tanpa ragu-ragu melaksanakan fungsi dan aktivitasnya masing-masing.
b.      Akuntabilitas, yang bermakna mampu bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkan segala aktivitas yang dilakukannya. terutama dalam pemerintahan yang demokratis atau governance ini, bertanggung jawab dan mempertanggung jawabkan kepada masyarakat.
c.       Transparant atau Opennes, yang berarti tidak saja mengarah adanya kejelasan mekanisme formulasi, implementasi dan evaluasi terhadap kebijakan, program atau aktivitas tetapi juga terbukanya kesempatan bagi masyarakat untuk mengajukan tanggapan, usul maupun kritik.
d.      Profesionalisme, yang mengarah baik skill, kemampuan maupun kompetensi yang harus dimiliki oleh semua komponen atas tanggung jawab dan tugas yang dibebankan kepadanya.
e.       Partisipasi, yang memiliki makna terbukanya akses bagi seluruh komponen atau lapisan untuk ikut serta atau terlibat dalam pembuatan keputusan atau kebijakan[2].


[1] Lihat Prof. DR. Miftah Thoha MPA, birokrasi dan politik di indonesia PT. Raja Grafindo Persada, 2003, hal 74
[2] Lihat Prof. Dr. Warsito Utomo, Administrasi Publik Baru Indonesia Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik, Pustaka Pelajar, 2006, hal185-186 

Wancana Reformasi Birokrasi

0 komentar


Kemenangan rakyat atas rezim otoriter pada tahun 1998 menyingkapkan tabir yang selama ini tertutup rapat akan harapan untuk meningkatkan taraf hidup dan kebebasan di dalam setiap aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, pembungkaman yang dilakukan oleh rezim Soeharto terhadap aktifis mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ditambah dengan minimnya tingkat kwalitas kesejahteraan turut membantu agenda reformasi ini.
Salah satu tuntutan mendasar yang diinginkan oleh masyarakat pasca tumbangnya rezim Soehato  yaitu Netralitas dan Agenda Reformasi Birokrasi yang selama ini (zaman Soeharto) dirasakan selalu memihak terhadap golongan tertentu. pada zaman Soeharto birokrasi selalu dijadikan sebagai “alat politik”pemerintah guna memenangkan partai pemerintah (Golkar) dalam setiap pemilihan umum yang dilakukan dalam tengat waktu 5 tahunan, mirip rezim kolonial Belanda dalam memanipulasi aparat birokrasi tradisional yang diintegrasikan ke dalam struktur kolonial.
Secara terminologis aparatur birokrasi dapat diidentifikasi sebagai pegawai negri sipil (PNS).  Mereka adalah para PNS, aparat Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan anggota kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Demikan pula dengan kelembagaan pegawai negri sebagai mesin politik negara korporatik-otoritarian oleh rezim orde baru. Tindakan pelembagaan itu dimulai lewat pembentukan Korps karyawan (Kopkar) pemerintahan dalam negri di awal orde baru, dan kemudian di sempurnakan dengan pembentukan KORPRI (korps pegawai republik indonesia) lewat keppres No. 82 tahun 1971.
Agenda reformasi birokrasi yang digadang-gadangkan pasca runtuhnya rezim soeharto mendapatkan banyak masalah, salah satunya adalah faktor politik, birokrasi selalu tergoda akan rayuan gombal para politisi penghamba dunia materi. Dengan mudahnya para birokrasi di peralat oleh politisi korup guna turut membantu dalam konfrontasi politik baik itu pada tingkatan daerah maupun pusat. Hal ini terbukti dengan besarnya jumlah incumbent (yang masih menjabat) terpilih kembali sebagai kepala daerah atau setidaknya terdapat 172 calon kepala daerah yang terpilih kembali pada saat pemilu.[1] 
Pada tataran ini, netralitas birokrasi merupakan suatu keharusan yang tidak bisa ditawar lagi, mengingat birokrasi merupakan jembatan penghubung antara masyarakat dengan pemerintah, di samping itu pula birokrasi ibarat dua sisi mata uang selain sebagai bentuk pelayanan terhadap masyarakat birokrasi pun dijadikan sebagai salah satu indikator yang penting guna mengetahui tingkat kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Pentingnya netralitas birokrasi ini dituangkan di dalam UU No. 43 tahun 1999 tentang pokok-pokok kepegawaian[2], UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia[3], PP No. 5/1999 tentang Pegawai Negri Sipil Yang Menjadi Anggota Partai Politik[4], Keputusan Munas V KORPRI tahun 1999[5] dan Surat Edaran (SE) Menpan No. SE/08.A/M.PAN/3/2005, tentang Netralitas PNS Dalam Pemilihan Kepala Daerah[6].
Netralitas politik yang sejatinya merupakan salah satu bentuk respon yang dilakukan oleh pemerintah guna menciptakan iklim birokrasi modern terus digalakan di samping masih terdapat kendala di sana-sini, perubahan ini harus terus di lakukan sembari membenahi ganjalan-ganjalan yang membuat birokrasi  kita terlihat seperti “alat penguasa”. perubahan paradigma birokrasi tradisional (Patrionial Bureaucracy) kepada birokrasi modern (Modern Bereaucracy) yang dilakukan pasca runtuhnya rezim Soeharto belum sepenuhnya terjadi, atau meminjam istilah  Achmad Fedyani Saefudin sebagai “percampuran gamang” dimana terjadi percampuran antara budaya birokrasi tradisional yang masih melekat dengan budaya birokrasi modern. Untuk lebih memperjelas akan “percampuran gamang” ini mari kita lihat dua paradigma tersebut.
Paradigma pertama, adalah Birokrasi Modern (Modern Bereaucracy), yang mengartikan birokrasi sebagai institusi, kewenangan, sistem pengaturan, sistem prosedur, mekanisme yang berfungsi melaksanakan keputusan atau kebijakan politik dalam mencapai tujuan peningkatan pelayanan publik. ciri tersebut seperti yang dikemukakan Max Weber sebagai tipologi birokrasi modern yang mengedepankan prinsip legalitas-formal, rasional objektif dan profesional.
Paradigma kedua, adalah Birokrasi Tradisional (Patrionial Bureaucracy) menunjukan bahwa birokrasi diwarnai oleh unsur tradisional, seperti nilai korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dan berorientasi melayani kekuasaan bukan pada kepentingan publik[7].
Berkaca pada kemajuan Negara di Dunia seperti Jepang, Hongkong, Malaysia, sangat ditentukan oleh kondisi aparatur birokrasinya dalam menunjukan profesionalitasnya sebagai pelayan masyarakat. Di Indonesia  kultur birokrasi yang modern belum dianggap sebagai kebiasaan umum yang patut untuk dilakukan, alih-alih ingin membuat birokrasi menjadi modern malah yang timbul adalah fenomena birokratisasi yang sarat akan nuansa negatif dalam proses lambanya pelayanan yang diiringi pula oleh lingkaran korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Dalam melihat persoalan yang terjadi ini, kita sudah sepatutnya mendukung terhadap segala upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal menata birokrasinya. reformasi birokrasi adalah suatu keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi, guna terciptanya good governance dan clean governance yang merupakan salah satu bentuk konsensus yang telah disepakati dalam model dan kultur modern abad 21 ini.


[1] Lihat Drs. Taufiq Efendi dalam Majalah Figur,Reformasi Birokrasi, PT Panca Wira Karsa, 2007 hal.26
[2] Lihat UU no 43 tahun 1999 pada pasal 3 ayat 2 dan 3
[3] Lihat UU no 34 tahun 2004 pada pasal 39
[4] PP No. 5/1999 pasal 3
[5] Lihat Munas V KORPRI tahun 1999
[6] Lihat SE Menpan No.SE/08.A/M.PAN/3/2005
[7] Opcit’ Reformasi Birokrasi hal.3

Demokrasi Di Indonesia

0 komentar


Demokrasi merupakan salah satu kajian yang masih “seksi” untuk di bicarakan, kata-kata demokrasi sering kita dengar baik itu di dalam dunia kampus, dunia pergerakan bahkan sampai warung kopi maupun angkringan kata-kata demokrasi selalu tidak pernah absen diperbincangkan.
Jika kita merujuk pada sejarah, tentunya demokrasi bukanlah kata yang baru setidaknya 5 abad sebelum masehi pun demokrasi sudah mulai dikenal oleh para pemikir-pemikir yunani kuno, walaupun harus kita sadari bahwa demokrasi kita hari ini merupakan perbaikan dari produk demokrasi terdahulu.
Sebelum penulis berbicara terlalu jauh prihal demokrasi ini, sekiranya harus kita sadari bahwa ada persyaratan khusus dalam memperbincangkan demokrasi, persyaratan khusus ini adalah dengan melepaskan diri dari bias dan etnosentrisme. Syarat ini merupakan salah satu hal yang dapat membantu kita dalam memahami konsep demokrasi secara objektif dan komperehensif. Pandangan etnosentrisme membuat kita melihat apa yang dimiliki oleh kita serba baik dan benar, sedangkan segala sesuatu yang berada diluar kita merupakan hal yang sebaliknya. Kenyataan seperti ini sering kita dengar seperti “itu kan dari barat” atau “demokrasi kan produk kapitalis” dan lain sebagainya atau dalam terminology ali-shariati disebut dengan istilah “societe ferme” (suatu masyarakat tertutup) kebalikan dari “societe ouverte” (suatu masyarakat terbuka).
Secara bahasa demokrasi berasal dari dua kata yaitu “Demos” dan “Kratien/kratos” yang berarti pemerintahan rakyat atau kedaulatan rakyat. Ada dua perspektif dalam memahami demokrasi ini[1], yaitu :
1.       Demokrasi Normatif, yaitu pemahaman yang merujuk pada idil suatu Negara seperti ungkapan “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” ungkapan ini terejawantah didalam UUD 1945.
“kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat” (pasal 1 ayat 2)
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang” (pasal 28).
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. (pasal 29 ayat 2)[2]
2.      Demokrasi Empiris yaitu, pemahaman yang merujuk pada konteks sejarah didalam suatu Negara, seperti demokrasi pemerintahan masa revolusi, demokrasi parlementer dan lain sebagainya.
Dan didalam demokrasi terdapat empat tingkat pendekatan untuk membedakan status demokrasi dalam suatu Negara, yaitu Demokrasi Procedural, Demokrasi Agregatif, Demokrasi Deliberative dan Demokrasi Partisipatoris[3].
1.      Demokrasi Prosedural, yaitu  persaingan partai politik dan atau para calon pemimpin politik meyakinkan rakyat agar memilih mereka menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan (legislative atau eksekutif) di pusat atau di daerah. Rumusan ini dikemukakan oleh Joseph Schumpeter dan diikuti dan dikembangkan oleh Samuel P. Hutington. Menurut definisi ini terdapat dua unsure penting dalam demokrasi : konstelasi/persaingan secara adil antar partai dan atau calon pemimpin, dan partisipasi warga Negara dalam menilai dan member keputusan atas persaingan tersebut
2.      Demokrasi Agregatif, berpandangan bahwa demokrasi tidak hanya keikutsertaan dalam pemilu yang LUBER dan JURDIL dan akuntabel tetapi terutama cita-cita, pendapat prefernsi, dan penilaian warga Negara menentukan isi UU, kebijakan dan tindakan lainnya. Pandangan ini berangkat dari asumsi yang mengatakan orang yang tahu dirinya adalah orang itu sendiri.
3.      Demokrasi deliberative, yaitu  merupakan antithesis dari Demokrasi Agregatif, demokrasi tidak hanya diukur dari apakah kebijkan public dirumuskan berdasarkan preferensi dan pandangan warga Negara secara umum tetapi terutama apakah UU dan kebijakan tersebut sesuai dengan kehendak setiap warga Negara. Pengambilan keputusan pada berbagai institusi, seperti partai politik, civil society, lembaga perwakilan rakyat, pengadilan, departemen dan dinas pemerintahan, rembug desa, dan ruang public yang lainnya dilakukan melalui diskusi/musyawarah yang tidak hanya bersifat terbuka tetapi juga rasional (reasoned rule), hal ini dikemukakan oleh Amy Gutmann dan Dennis Thompson.
4.      Demokrasi Partisipatoris, menyetujui pentingnya nilai-nilai demokrasi seperti self-government, persamaan atau kesetaraan politik, dan reasoned rule tetapi menekankan pada partisipasi seluruh warga Negara (yang sudahberhak memilih) secara langsung dalam pengambilan keputusan. Walaupun keterlibatan secara langsung dalam pembuatan keputusan tidak pada semua tingkatan atau pada semua isu public, tetapi frekuensinya sering, terutama dalam pembuatan kebijakan yang penting, dan ketika kekuasaan secara signifikan digunakan. Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh Benyamin Barber.
Manifestasi nyata dari demokrasi ini salah satunya dengan cara pemilihan umum yang meliputi tiga ketegori pemilihan, yaitu
·         Pertama, Pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kab/Kota. DPR dan DPRD adalah dari partai politik sedangkan DPD dari perseorangan.
·         Kedua, Presiden dan Wakil Presiden. Dari partai politik atau gabungan partai politik.
·         Ketiga, Kepala daerah dipilih secara demokratik yang diatur lebih lanjut didalam UU.


[1] Lihat Afan Gaffar,Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, 2006 hal 3
[2] Lihat UUD 1945
[3] Lihat Prof. Ramlan Surbakti, Didik Suprianto, Topo Santoso, “Perekayasa System Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis”, Kemitraan Partnership, 2008 hal 9-11