Demokrasi Di Indonesia


Demokrasi merupakan salah satu kajian yang masih “seksi” untuk di bicarakan, kata-kata demokrasi sering kita dengar baik itu di dalam dunia kampus, dunia pergerakan bahkan sampai warung kopi maupun angkringan kata-kata demokrasi selalu tidak pernah absen diperbincangkan.
Jika kita merujuk pada sejarah, tentunya demokrasi bukanlah kata yang baru setidaknya 5 abad sebelum masehi pun demokrasi sudah mulai dikenal oleh para pemikir-pemikir yunani kuno, walaupun harus kita sadari bahwa demokrasi kita hari ini merupakan perbaikan dari produk demokrasi terdahulu.
Sebelum penulis berbicara terlalu jauh prihal demokrasi ini, sekiranya harus kita sadari bahwa ada persyaratan khusus dalam memperbincangkan demokrasi, persyaratan khusus ini adalah dengan melepaskan diri dari bias dan etnosentrisme. Syarat ini merupakan salah satu hal yang dapat membantu kita dalam memahami konsep demokrasi secara objektif dan komperehensif. Pandangan etnosentrisme membuat kita melihat apa yang dimiliki oleh kita serba baik dan benar, sedangkan segala sesuatu yang berada diluar kita merupakan hal yang sebaliknya. Kenyataan seperti ini sering kita dengar seperti “itu kan dari barat” atau “demokrasi kan produk kapitalis” dan lain sebagainya atau dalam terminology ali-shariati disebut dengan istilah “societe ferme” (suatu masyarakat tertutup) kebalikan dari “societe ouverte” (suatu masyarakat terbuka).
Secara bahasa demokrasi berasal dari dua kata yaitu “Demos” dan “Kratien/kratos” yang berarti pemerintahan rakyat atau kedaulatan rakyat. Ada dua perspektif dalam memahami demokrasi ini[1], yaitu :
1.       Demokrasi Normatif, yaitu pemahaman yang merujuk pada idil suatu Negara seperti ungkapan “Pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat” ungkapan ini terejawantah didalam UUD 1945.
“kedaulatan adalah ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh majelis permusyawaratan rakyat” (pasal 1 ayat 2)
“Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan Undang-Undang” (pasal 28).
“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. (pasal 29 ayat 2)[2]
2.      Demokrasi Empiris yaitu, pemahaman yang merujuk pada konteks sejarah didalam suatu Negara, seperti demokrasi pemerintahan masa revolusi, demokrasi parlementer dan lain sebagainya.
Dan didalam demokrasi terdapat empat tingkat pendekatan untuk membedakan status demokrasi dalam suatu Negara, yaitu Demokrasi Procedural, Demokrasi Agregatif, Demokrasi Deliberative dan Demokrasi Partisipatoris[3].
1.      Demokrasi Prosedural, yaitu  persaingan partai politik dan atau para calon pemimpin politik meyakinkan rakyat agar memilih mereka menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan (legislative atau eksekutif) di pusat atau di daerah. Rumusan ini dikemukakan oleh Joseph Schumpeter dan diikuti dan dikembangkan oleh Samuel P. Hutington. Menurut definisi ini terdapat dua unsure penting dalam demokrasi : konstelasi/persaingan secara adil antar partai dan atau calon pemimpin, dan partisipasi warga Negara dalam menilai dan member keputusan atas persaingan tersebut
2.      Demokrasi Agregatif, berpandangan bahwa demokrasi tidak hanya keikutsertaan dalam pemilu yang LUBER dan JURDIL dan akuntabel tetapi terutama cita-cita, pendapat prefernsi, dan penilaian warga Negara menentukan isi UU, kebijakan dan tindakan lainnya. Pandangan ini berangkat dari asumsi yang mengatakan orang yang tahu dirinya adalah orang itu sendiri.
3.      Demokrasi deliberative, yaitu  merupakan antithesis dari Demokrasi Agregatif, demokrasi tidak hanya diukur dari apakah kebijkan public dirumuskan berdasarkan preferensi dan pandangan warga Negara secara umum tetapi terutama apakah UU dan kebijakan tersebut sesuai dengan kehendak setiap warga Negara. Pengambilan keputusan pada berbagai institusi, seperti partai politik, civil society, lembaga perwakilan rakyat, pengadilan, departemen dan dinas pemerintahan, rembug desa, dan ruang public yang lainnya dilakukan melalui diskusi/musyawarah yang tidak hanya bersifat terbuka tetapi juga rasional (reasoned rule), hal ini dikemukakan oleh Amy Gutmann dan Dennis Thompson.
4.      Demokrasi Partisipatoris, menyetujui pentingnya nilai-nilai demokrasi seperti self-government, persamaan atau kesetaraan politik, dan reasoned rule tetapi menekankan pada partisipasi seluruh warga Negara (yang sudahberhak memilih) secara langsung dalam pengambilan keputusan. Walaupun keterlibatan secara langsung dalam pembuatan keputusan tidak pada semua tingkatan atau pada semua isu public, tetapi frekuensinya sering, terutama dalam pembuatan kebijakan yang penting, dan ketika kekuasaan secara signifikan digunakan. Pandangan ini dikemukakan antara lain oleh Benyamin Barber.
Manifestasi nyata dari demokrasi ini salah satunya dengan cara pemilihan umum yang meliputi tiga ketegori pemilihan, yaitu
·         Pertama, Pemilihan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, Kab/Kota. DPR dan DPRD adalah dari partai politik sedangkan DPD dari perseorangan.
·         Kedua, Presiden dan Wakil Presiden. Dari partai politik atau gabungan partai politik.
·         Ketiga, Kepala daerah dipilih secara demokratik yang diatur lebih lanjut didalam UU.


[1] Lihat Afan Gaffar,Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, 2006 hal 3
[2] Lihat UUD 1945
[3] Lihat Prof. Ramlan Surbakti, Didik Suprianto, Topo Santoso, “Perekayasa System Pemilu Untuk Pembangunan Tata Politik Demokratis”, Kemitraan Partnership, 2008 hal 9-11

0 komentar:

Posting Komentar